Ahayy, rasanya sungguh aneh
setelah lama tidak meninggalkan jejak di blog ini dan ujug-ujug menyambangi
dengan judul yang kedengarannya kok ya terkesan sotoy dan sok memotivasi. Tapi
apa coba kegiatan yang cocok dilakukan di hari Senin seperti sekarang? Hari
kejepit yang ndilalahnya kompak dengan badan yang rasanya super gak jelas
akibat Hyperemesis Gravidarum yang tak kunjung angkat kaki di usia kehamilan 4
bulan ini. Padahal Duchess of Cambridge saja sudah sembuh dari sindrom yang sama, malahan
sudah tampil cantik nan enerjik di berbagai acara kelas dunia. Belum kelar
urusan sindrom aneh, ada lagi urusan otot pantat kejepit yang membuat berbagai
kegiatan domestik sangat terganggu. Untuk bangkit dari tidur saja perlu usaha
ekstra, dan bahkan kelihatannya lebih mudah buat Suzanna untuk bangkit dari kubur dibanding
saya bangkit dari tidur. Dohh.. life is so unfair.. Pokoknya begitulah, dengan
berbagai alasan khas karyawan malas, saya bertekad untuk menghabiskan jam
kantor hari ini dengan mencoba menulis sebuah artikel di blog tercinta. Apapun topik
dan judulnya.
Ide tulisan ini muncul tadi pagi
saat berbasa-basi tentang hari kejepit dengan seorang rekan kerja. Alih-alih
mengiyakan gerutuan saya, dia malah berujar tenang, “Syukuri saja. Dari pada
harus kerja 5 hari berturut-turut, kan lebih enak ada liburnya walaupun hanya
satu hari.” Benar juga ya?
Pernyataan singkat nan enteng itu
malah membuat saya berpikir. Sarapan jadi nggak enak. Saya jadi teringat seribu
satu keluh kesah yang sering saya lontarkan. Tentang apapunlah itu, dari kehamilan
yang beratlah, rumah yang L4- Lo Lagi Lo Lagi hanya 2 kamar tidur
inilah, kenaikan gaji yang tidak bombastis seperti konser boyband sesuai
harapanlah, sampai orang tua yang tidak punya harta berlimpah.
Rasanya sulit sekali untuk bersyukur atas apa yang ada. Tiap habis sholat bukannya mengucap syukur atas karunia yang diberikan, kesehatan badani dan rohani, suami yang
Sepanjang acara sarapan itu saya
memaksakan diri untuk melihat kembali apa yang saya miliki dan alami sambil tak
lupa mengecap masing-masing dengan stempel SYUKURI SAJA. Yap.. persis petugas
imigrasi yang membubuhkan stempel di tiap-tiap keberangkatan. Dimulai dengan kehamilan
saya yang direcoki sindrom gak jelas itu. Walaupun lemas karena muntah-muntah
nggak keruan, si suami selalu siap memasak menu-menu andalannya dan menyuapi
saya yang ogah-ogahan makan. Plus dengan rendah hatinya menyetrika baju
sendiri. Kalau akhir pekan menjelang, mengepel serta menggosok kamar mandi dia
lakukan tanpa bantuan saya, belum lagi dengan sabarnya menuruti keinginan saya
makan ini itu yang ujung-ujungnya juga dia yang ngabisin sendiri karena saya cuma
gede pengennya doang. See, I’m indeed a lucky wife, am not I? :)
Ngomong-ngomong soal si suami,
setelah setahun lebih berumah tangga saya kerap menemukan kekurangan pada
dirinya. Walaupun bertitel insinyur dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama,
si suami jarang terlihat mengutak-utik alat-alat elektronik yang kadang mogok
kerja di rumah. Alih-alih memperbaiki, memegang obeng dan tang saja dia
terlihat kagok. Mungkin analoginya ya seperti SBY si jenderal cinta yang
kelihatan lebih pantas memegang gitar dari pada senapan. Tidak seperti
suami temen sekantor saya, yang konon katanya begitu fasih menyulap
bangku-bangku bekas menjadi tempat tidur anak, mencuci dan menservis AC di
rumah serta berbagai jenis prakarya khas para lelaki lainnya. Padahal suami
teman saya ini lulusan IKIP. Ada lagi cerita teman lain soal suaminya yang
sering membelikannya tas-tas bermerk dan segudang kelebihan lainnya deh.
Cerita-cerita semacam ini kadang membuat saya membatin,” yaaahh, kamu kok
bisanya cuma gini sih, Mas”. Hehehehe…
Tapi nih, tapi.. Kalau dipikir-pikir
lagi, walaupun dia tidak mahir dunia pertukangan, di lain pihak dia sangat bisa
diandalkan untuk urusan fotografi dan geografi, serta bisa menandingi semangat
petualang saya yang begitu menggebu-gebu. Saya tinggal tunjuk mau kemana, dan
dia dengan cekatan akan menyediakan segala tetek bengek persiapan perjalanan.
Dan bagi saya si pemalas dandan dan kadang jarang mandi ini, yang
terpenting adalah si suami selalu memperlakukan saya bak Angelina Jolie. Hihihihi..
I’m so blessed I have him.
Salah satu topik penting yang
sering jadi bahan diskusi saya dan suami belakangan ini adalah masalah rumah.
Bayangkan saja, rumah dua kamar ini sudah penuh terisi dengan adanya si Papa.
Nanti kalau si bayi lahir, tentunya satu kamar lagi untuk baby sitternya adalah
mandatory. Tidak bisa ditawar lagi. Harus ada. Nah lho.. piye iki? Mau nambah
satu kamar lagi, duit pas-pasan. Belum lagi satu hal yang paling penting, itu
rumah walaupun uddah pewe tetap saja bukan milik sendiri, alias masih ngontrak.
Hahahahahaha… #ketawastres. Tapi ya, kenapa harus dibawa pusing kan? Namanya
juga kontraktor, rumah sudah tidak cukup ya tinggal pindah. Cat sudah kusam dan
out of date? Cari saja yang baru. Tetangga egois dan sok tau, pindah saja,
tinggal tunjuk mau ke komplek yang mana. Asal ada duitnya yang ini kami gak
punya. Enak toh? Heheheh.. seperti kata teman saya tadi pagi, syukuri saja.
Dan izinkan saya meneruskan kalimatnya, semua akan indah pada waktunya :)