Pages

November 26, 2008

A Glance Back to The Memory of The First Encounter to Love

Cinta monyet. Pernah mendengar istilah ini kan? Dikenal juga sebagai puppy love dalam bahasa Inggris. Istilah yang merujuk pada perasaan cinta yang dirasakan seseorang pada masa remajanya entah kepada remaja seumurnya atau pada seseorang yang lebih dewasa. Berbeda dengan istilah romantic love atau platonic love yang merujuk pada suatu kualitas relasi afeksi yang begitu dalam serta membawa pemahaman tersendiri akan kehidupan, puppy love terjadi lebih karena rasa kagum atau pemujaan terhadap objeknya. Dan saya rasa banyak diantara kita pernah merasakan hal ini. Tidak terkecuali saya.
Sejauh saya bisa mengingat, hanya ada seorang saja yang menjadi objek cinta monyet dalam daftar percintaan saya yang memang tidak panjang. Dan anak muda yang beruntung (??) itu adalah teman bermain saya semasa kecil. Dia memang tidak asing lagi bagi saya karena ayah kami berteman dan kebetulan mereka sama-sama orang sumatera. Entah karena merasa senasib di perantauan atau karena memang rumah kami yang dekat, ayah kami sering saling bergantian memberikan kunjungan. Hal ini memberikan kesempatan kami untuk berkenalan dan menjalin pertemanan. Bermain sengejaran bulan (kejar-kejaran mengumpulkan musuh dalam lingkaran sebagai temboknya-red), galah kepung, betapok (petak umpet-red) bahkan lompat tali bersama anak-anak kampung lainnya adalah hal yang biasa kami lakukan. Setelah kami SMP, frekuensi pertemuan kami lebih sering karena kami pergi ke sekolah bersama-sama. Menaiki sepeda masing-masing dan bercanda sambil berlomba-lomba menaiki tanjakan dengan ayah kami mengikuti di belakang di atas vespa masing-masing menjadi rutinitas. Sore hari saya dan dia bertemu lagi dalam perjalanan menuju aktivitas ekstrakulikuler di sekolah masing-masing (dia bersekolah di tsanawiyah khusus laki-laki) dan berjanji akan pulang bareng. Kadang saat kegiatan les saya selesai lebih cepat, saya menonton dia berlatih silat. Atau kami bermain badminton di lapangan sekolah orang lain. Dia satu-satunya teman pria yang dipercayai ayah saya. Kalau sudah bilang "sama Toto, Pa", ayah saya yang puritan (heu..heu..Sorry Dad) dan overprotected itu akan mengangguk tanpa banyak tanya. Dia juga yang membuat saya boleh naik sepeda ke sekolah (walaupun ayah saya tanpa bosan selalu menemani sepanjang perjalanan dan jika terpaksa melepaskan kami akan memberikan wejangan yang panjang tentang tata cara berkendara yang baik di jalan raya). Sangat menyenangkan memiliki teman yang bisa diajak main apa saja dan selalu melindungi.
Sampai suatu saat dalam masa penantian kelulusan ujian akhir SMP. Entah kenapa tiba-tiba saya jadi selalu menunggu sore hari. Jam tidur siang menjadi terasa begitu panjang dan menyiksa. Saya tidak lagi bisa cuek saja pergi bermain badminton dengan t-shirt bulukan dan tentu saja minus mandi. Jika si mbak belum menyeterika kaus andalan, saya akan marah-marah tidak karuan sampai waktunya berangkat untuk bermain badminton. Tiba-tiba saya jadi sering memperhatikan figur dan senyumnya. Dan saya baru menyadari betapa dia sudah jauh lebih tinggi dari saya. Dan ternyata kulitnya jauh lebih putih dari saya (yang membuat saya sebal jika melihat kedua adik saya yang memang mewarisi kulit putih mulus Mama. Kenapa saya malah mendapat kulit si papa sih, gerutu saya dalam hati kala itu). Dan ternyata senyumnya yang merupakan paduan ramah, flirty dan sinis itu begitu digandrungi teman-teman sebaya lain. Dan ternyata dia lebih keren mengenakan seragam pramuka dibanding saat mengenakan celana jins dan kaus bulukan favoritnya. Saya jadi getol melakukan observasi atas diri dan kelakuannya. Jika dia ternyata tidak bisa berlatih badminton bersama karena ada ujian kenaikan tingkat di kelompok silatnya saya jadi overanalized. Jangan-jangan dia tidak suka lagi bermain bersama saya, jangan-jangan dia bosan dan menemukan teman baru yang lebih cantik dan tidak merepotkannya dengan berbagai pertanyaan seperti saya, serta sejuta jangan-jangan lainnya.
Perasaan saya padanya yang semula simpel menjadi begitu kompleks dan menyiksa. Tapi bahkan dalam usia belia saya tahu bahwa saya menikmatinya. Menikmati perasaan deg-degan, berbunga-bunga serta cemas yang aneh yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Tapi saya tidak melakukan apa-apa. Karena kala itu saya tidak tahu harus berbuat apa. Sampai tiba saatnya kami harus berpisah (karena saya diterima di sebuah SMU unggulan yang mengharuskan saya masuk asrama dan dia juga melanjutkan sekolahnya di Medan, mengikuti keinginan ayahnya untuk kembali ke kota asal keluarga mereka) saya tetap tidak melakukan apa-apa. Kami hanya bertukar foto dan janji untuk tetap melanjutkan persahabatan via surat menyurat.
Kenangan akan dirinya dan hari-hari masa kecil kami perlahan memudar, tapi tidak menghilang. Terselip rapi di antara ribuan kenangan hidup saya. Jika saya tersenyum mengenang kenakalan masa kecil, hampir bisa dipastikan dia berlarian diantaranya.


===================
"Holy Saint Francis, what a change is here!
Is Rosaline, whom thou didst love so dear
So soon forsaken? young men's love then lies
Not truly in their hearts, but in their eyes.

Romeo and Juliet, Act 2 Scene 3, William Shakespeare

No comments: